Google

Sunday, 6 June 2010

Aktualisasi Hawking


Oleh: Jansen H. Sinamo
Jenius itu satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras.
— THOMAS A. EDISON

Anda kenal Stephen Hawking? Anda yang memang akrab dengan fisika kuantum pasti tak asing dengan manusia super genius ini. Bagi Anda yang awam kuantum, umumnya mengenalnya sebagai fisikawan modern yang lumpuh dengan otak yang cemerlang. Tetapi seperti kata Thomas A. Edison, bahwa jenius itu satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras, seperti itu pula yang dilakukan Hawking.

Stephen Hawking (1942) sejak usia dua puluh satu tahun sudah menderita penyakit Lou Gehrig atau amyotrophic lateral sclerosis, penyakit ini mengakibatkan melemahnya otot, membuat lumpuh, dan kehilangan kemampuan berbicara. Namun, Hawking sungguh hebat, ia masih memiliki kekuatan berpikir yang sangat luar biasa, canggih dan visioner, bahkan daya imajinasinya sulit dicarikan tandingannya. Kehidupan keseharian Hawking selalu di atas kursi roda yang dilengkapi dengan komputer dan satu pembangkit (synthesizer) suara. Dengan menekan tombol-tombol pada keybord kecil, Hawking bisa memilih kata-kata di layar komputer, menggabungkannya menjadi kalimat yang diteruskan ke pembangkit suara. Sungguh merupakan kehidupan yang sangat sulit, membutuhkan mental baja untuk membangun semangat hidup seperti ini.

Itulah hidup Hawking dengan kelemahan fisik yang amat serius, ia memberikan inspirasi kepada dunia yang tengah mencari penjelasan tentang asal kejadian dan nasib alam semesta. Justru saat serangan terhadap otot-otot motoriknya mencapai puncaknya, Hawking habis-habisan melakukan riset tentang alam semesta. Buku hebat pun lahir dari kerja keras yang penuh semangat itu, A Brief History of Time (Riwayat Singkat Senja Kala). Buku ini terjual lebih dari 30 juta eksemplar dan diterbitkan dalam tiga puluh tiga bahasa. Buku ini merupakan usaha Hawking untuk menjelaskan kepada masyarakat awam tentang berbagai pertanyaan teknis dan filosofis tingkat tinggi yang menjadi obsesi para filsuf dan ilmuwan seperti dirinya.

Riset alam semesta itu membuat Hawking bekerja habishabis-an. Ia benar-benar mengaktualisasikan dirinya melalui riset itu. Ia begitu antusias dan merasa tidak adil bila melakukan kegiatan senikmat riset itu disebut bekerja. Apa yang Hawking lakukan sekaligus membuktikan bahwa kelemahan fisik bukan kendala untuk aktualisasi diri. Hasilnya? Sederet kontribusi pemikirannya telah membuka cakrawala ilmu pengetahuan, termasuk temuannya yang oleh fisikiawan John Wheeler disebut sebagai lubang hitam (black hole), Hawking mengatakan ternyata lubang hitam tidak sepenuhnya hitam, karena hal itu disebabkan oleh penguapan kuantum yang kini dikenal sebagai ‘Radiasi Hawking’.

Semua wacana fisika di atas tentu saja dilandasi oleh bangun teori yang amat rigid dan mendalam dengan ditopang kemampuan matematika yang super canggih. Hawking melakukan suatu tindakan seperti saat Albert Einstein menciptakan Teori Relativitas. Hawking dengan segala temuan akbarnya telah memamerkan sebuah daya imajinasi tiada tara, dan antusiasme bekerja tanpa banding! Semua ini dilakukan oleh seorang Hawking yang lumpuh fisiknya.

Sebatang Bambu


Oleh: Jansen H. Sinamo
Seni harus mampu membebaskan diri dari belenggu kemapanan, dan kreativitas harus mampu memberi nilai tambah bagi kehidupan ini.
Pagi itu si petani tua menjumpai serumpun bambu di halaman rumahnya. Hari terus melaju, dan bambu-bambu itu pun semakin bertambah tinggi dan kuat. Petani tua itu berdiri di depan sebatang bambu yang tertinggi dan berkata, “Sobat, aku membutuhkanmu.”
Bambu itu pun menjawab, “Tuan, pakailah aku seperti yang engkau inginkan, aku siap membantu.” Lalu petani itu mulai berbicara serius, “Agar aku bisa memakaimu, engkau harus dibelah menjadi dua.”
Serumpun bambu bergoyang kencang. Mereka terkejut mendengar pernyataan si petani. Sebatang bambu itu pun gemetar, “Membelahku? Mengapa? Tidakkah tuan melihat bahwa aku ini bambu tertinggi dan terbaik di antara teman-temanku? Tuan, jangan belah aku. Pakailah aku seperti yang tuan kehendaki, tapi, please, jangan belah aku....”
Si petani mencoba memberi penjelasan kepada bambu itu, “Begini, jika aku tidak membelahmu, aku tidak bisa memakaimu.” Seluruh flora di kebun belakang rumah jadi heboh. Angin juga ikut menahan napasnya. Bambu yang tinggi semampai, anggun nan menawan itu pun berkata lirih, “Tuan, jika memang itu adalah satu-satunya jalan untuk memanfaatkan aku, maka lakukanlah! Aku menurut....”
“Tapi, itu hanya awalnya saja, “ petani tua itu ingin menjelaskan rencananya lebih lanjut, “Aku juga harus memotong semua cabang dan daunmu.”
“Ya Tuhan, jangan biarkan ini menimpaku!” jerit si bambu, “Tuan, apa yang akan tuan lakukan benar-benar akan merusak penampilanku. Tuan, kalau bisa, janganlah pangkas cabang dan daunku.”
“Jika aku tidak memangkas semua cabang dan membersihkan daunmu, bagaimana aku bisa memakaimu?” si petani mulai mendesak si bambu.
Matahari ikut prihatin dan menyembunyikan wajahnya. Sekawanan kupu-kupu terbang mengitari bambu itu dengan gelisah. Serumpun bambu di kebun benar-benar terpukul, dan akhirnya sebatang bambu itu menjawab, “Tuan, pangkaslah aku.”
“Sobat, aku juga harus menyakitimu lagi. Aku harus mengambil hati dan bagian dalammu. Aku harus mengeluarkan isi tubuhmu. Jika ini tidak aku lakukan, aku tidak akan bisa memakaimu.” Tak ada jawaban lagi dari sebatang bambu itu kecuali memberi isyarat patuh dan setuju saja.
Disaksikan serumpun bambu di kebun, si petani menebang bambu itu, membelahnya menjadi dua, memangkas semua cabang dan daun, serta mengosongkan ruas-ruas dalam tubuh bambu itu. Lalu, si petani membawa belahan bambu ke sebidang tanah yang kering, dan menghubungkannya dengan sumber air.
Air pun mengalir melalui bambu, membasahi dan membuat subur tanah yang kering. Akhirnya bambu menjadi paham akan hakikat hidupnya. Bambu memang harus dipotong, dibelah, dan dipangkas agar menjadi berkat bagi kehidupan. Demikian pula, seni harus mampu membebaskan diri dari belenggu kemapanan, dan kreativitas harus mampu memberi nilai tambah bagi kehidupan ini.

7 Mentalitas Profesional

Oleh: Jansen H. Sinamo

Kini adalah zaman profesional. Abad 21 dicirikan oleh globalisasi yang serba kompetitif dengan perubahan yang terus menggesa. Tidak terbayangkan lagi ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bukan sekadar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class professionalism, yang memampukan kita sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.

Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini.

Bangsa kita jelas memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mengisi pembangunan masyarakat di segala bidang. Jika tidak mampu, maka kita terpaksa harus mengimpor mereka dengan harga yang sangat mahal.

Sesungguhnya, Indonesia berpotensi pula mengekspor tenaga-tenaga kerja profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara: perminyakan, pertambangan, kehutanan, sastra, seni, dan lain-lain.

Untuk dua hal di atas diperlukan usaha besar: membangun mentalitas profesional.

1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.

Jelas, profesionalisme tidak identik dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka seorang pengukir batu di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak lulus SMP, namun sanggup mengukir dengan segenap hati sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya adalah seorang profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar dengan segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah seorang profesional.

Di fihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya dengan tergesa-gesa karena mengejar kuota pasien bukanlah profesional. Demikian pula seorang profesor yang mengajar asal-asalan, meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai mengorbankan kualitas, bukanlah profesional. Atau, seorang insinyur yang dengan sengaja mengurangi takaran bahan bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah profesional.

Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah standar kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal kesempurnaan mutu.

2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Demikian pula pialang saham, computer programmer, atau konsultan investasi. Taat asas dengan pengertian ini, tidak mungkin ada pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau metoda membunuhnya memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum profesional adalah sebuah kerancuan istilah.

Mutu kerja seorang profesional tinggi secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban. Inilah altruisme.

Di fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya tinggi, berbasiskan kompetensi teknis yang tinggi, maka masyarakat menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula. Artinya, imbalan kerja bagi kaum profesional umumnya selalu mahal. Permintaan atas jasa mereka selalu lebih tinggi dari ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan kerja kaum profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status sosial kaum profesional dari segi moneter umumnya berada di lapisan tengah ke atas. Ini bukan karena kaum profesional menuntut untuk didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat logis dari eksistensi profesionalnya.

Maka ciri kedua profesionalisme ialah hadirnya motif altruistik dalam sikap dan falsafah kerjanya.

3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli pada sekitarnya. Kaum profesional tidak melakukan onani profesi. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi kerja.

Kaum profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Sorang maestro seni lukis sekelas Michelangelo saja pun tetap punya pelanggan, yakni Sri Paus, sang penguasa Vatikan, yang keinginannya harus dipuaskan.

Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti sang profesional berani berdiri di mahkamah tawar-menawar rasional dengan para pelanggannya. Maka seorang profesional harus bisa melayani pelanggannya sebaik-baiknya. Dan sang profesional diharapkan melakukannya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati sebagai apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang karir profesionalnya.

Maka ciri ketiga seorang pekerja profesional adalah sikap melayani secara tulus dan rendah hati kepada pelanggannya dan nilai-nilai utama profesinya.

4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu, terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan tiada henti.

Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah mapan, sebelum seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.

Kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang tinggi dan berkesinambungan. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin tinggi, tak pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup harus menjadi budaya kaum profesional. Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional semakin lama semakin tidak relevan. Bahkan bisa tak bersentuhan dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja gagal menjadi profesional.

Jadi ciri keempat pekerja profesional adalah hati pembelajar yang menjadikannya terus bertumbuh dan mempertajam kompetensinya kerjanya.

5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang sebuah hubungan cinta antara sang pekerja dengan pekerjaannya.

Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka mengenal, rasa cinta makin kental, dan akhirnya mengokohkan hubungan itu secara marital. Demikian juga seorang profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah, seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang dipilihnya.

Jadi ciri kelima seorang profesional sejati adalah terjalinnya dedikasi penuh cinta dengan bidang profesi yang dipilihnya.

6. Mentalitas Kreatif
Seorang olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.

Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat kekayaan dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.

Jadi ciri keenam seorang pekerja profesional adalah kreativitas kerja yang lahir dari penghayatannya yang artistik atas bidang profesinya.

7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi lain.

Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan misalnya. Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional.

Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.

Jadi ciri keenam pekerja profesional adalah kesetiaan pada kode etik profesi pilihannya.

***

Tampaklah bahwa menjadi profesional sangat berat. Tanpa motivasi akbar, dan stamina moral yang tinggi seseorang tidak mungkin menjadi profesional sejati.
Pertanyaan penting disini: darimana kah seorang profesional mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan bahkan bertumbuh di arena profesional itu? Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional berlimpah dengan uang. Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng, maksudnya uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang diperoleh, tingkat motivasinya akan turun kembali; mendaki ke puncak kurva lalu menurun menuju dasar kurva.

Motivasi seorang profesional selalu berasal dari ruang spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai jenis motivasi luhur seperti demi negara, demi bangsa, demi kaum papa, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi peradaban, dan sebagainya.

Dalam Abad 21 kini, dimana kompetisi antarmanusia, antarorganisasi, antarperusahaan, dan antarbangsa telah menjadi norma, maka profesionalisme di segala bidang menjadi tiket masuk ke stadion peradaban. Tanpa profesionalisme maka kita cuma jadi penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar. Juga, tidak ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya setiap orang harus menjadi profesional. Setiap perusahaan, partai politik, atau organisasi apa pun harus menjadi profesional. Bahkan setiap negara akhirnya harus berkelakuan profesional terhadap konstituen utamanya: rakyat! Jika tidak, masyarakat akan berkata pada kita: go to hell with your filthyness.

Gelar No, Ilmu Yes


Oleh: Jansen H. Sinamo

Di era 70-an Nurcholish Madjid terkenal dengan teriakannya: Politik No, Islam Yes. Kini teriakan senada harus dikumandangkan: Gelar No, Ilmu Yes. Ini perlu dilakukan karena masyarakat kita sudah sampai memberhalakan gelar kesarjanaan. Banyak orang bangga menyandang gelar-gelar mentereng itu tetapi sesungguhnya hampa bobot. Epidemi ini sekarang merambat lebih ganas karena banyak “mafia” berkedok dosen yang terjun menjadi penjaja gelar dengan harga terjangkau. Ironinya, sejumlah PTN ternyata juga terlibat praktik jual-beli gelar master atau doktor (Suara Pembaruan, 20 April).

Dari mana asal-usul wabah sosial ini? Awalnya dimulai ketika orang-orang tertentu tanpa risih menderetkan gelar S1, S2, S3 sekaligus, umpamanya Dr. Ir. Polan Polin, M.Sc. atau Dr. Polin Polan, SE, SH, MBA (sebenarnya cukup gelar tertingginya saja). Gelar berderet ini dianggap mampu meningkatkan derajat sosialnya. Dan, gayung pun bersambut hangat oleh masyarakat kita yang umumnya masih bermental hamba. Para penderet gelar itu mendapat sanjungan sosial.

Lanjutannya, tumbuhlah semacam keharusan baru untuk menulis dan memanggil nama orang lengkap dengan gelarnya. Dalam acara-acara resmi pemanggilan nama secara komplit menjadi protokol baru. Ingat saja saat voting di SU-MPR lalu, nama-nama anggota terhormat itu dipanggil serba lengkap. Saya perkirakan, durasi voting bisa berkurang sampai 25 % bila anggota MPR itu dipanggil dengan nama polos mereka saja. Namun bukan cuma di gedung MPR, di stasiun kereta api, bandara, ruang tunggu dokter, bahkan di rumah-rumah ibadah gelar-gelar akademis ini juga menjadi wajib panggil dan wajib tulis.

Keinginan dianggap hebat dan berkelas merupakan motivasi di balik kegemaran memasang gelar-gelar mentereng itu. Meskipun sampai dosis tertentu ambisi tersebut dapat dianggap sehat, namun dosis berlebihan jelas merupakan penyakit. Saya mengenal seseorang yang menulis gelar doktorandusnya bahkan di tikar, tong air, pantat gelas, pantat piring, punggung kursi, dan tembok rumahnya. Ini bukan lagi sekadar penyakit eksibisionisme, tetapi sudah berkomplikasi dengan rasa rendah diri akut. Di sini, sebuah gelar sarjana diharapkan mampu mengobatinya.

Harus diakui, para sarjana Indonesia tidak mau dianggap biasa, bersahaja. Mereka itu hebat. Sedihnya, meskipun tidak hebat tetapi ingin dianggap hebat.

Di dunia bisnis misalnya, sejak Tanri Abeng naik daun dengan gelar MBA-nya pada dekade 80an – dan dijuluki manajer satu milyar – maka kerabat gelar itu seperti MM atau MBM menjadi gengsi baru yang didambakan orang. Dengan titel MBA seseorang menjadi ningrat baru dalam kerajaan bisnis. Biasanya untuk menopang gengsi itu ditampilkan pula sebuah gaya hidup mewah.

Di fihak lain, anggota masyarakat yang tidak sempat bergelar ikut-ikutan naik birahi memiliki gelar dengan upaya-upaya tidak terpuji termasuk membeli ijazah palsu. Dan syahwat masyarakat ini semakin tidak tertahankan tatkala kesempatan memiliknya dengan seolah-olah sah -- tapi sebenarnya tidak autentik -- dimunculkan oleh lembaga-lembaga penjaja gelar. Sejak itulah orang bisa mendapatkan gelar BA, MA, PhD; BSc, MSc, Dr; atau BBA, MBA, DBA asal membikin resume cantik, ikut tutorial singkat, membayar beberapa juta, dan melancong sambil wisuda ke Amerika.

Amerika memang negeri yang sangat kreatif. Kita bisa mejeng sebagai Man of the Year di majalah Time misalnya dengan berfoto di emper toko dan membayar US$8. Tapi kreativitas begini memang sekadar lucu-lucuan. Itu sebabnya majalah Time yang asli tidak pernah memprotes praktik itu karena semua orang tahu bahwa itu memang ecek-ecek (dialek Medan yang artinya main-main, pura-pura, tidak serius).

Sayangnya wisudawan aspal dari Amerika di atas, tidak merasa bahwa lakon mereka itu sebenarnya ecek-ecek. Dengan gagahnya gelar-gelar itu kemudian dicetak di kartu nama. Bahkan ada yang berani naif-tanpa-malu memasangnya di iklan surat kabar.
Mestinya badut-badut akademis itu jadi bahan tertawaan. Tapi aneh bin ajaib, di negeri ini orang demikian malah dikagumi dan diteladani ramai-ramai.

Pertanda apa ini? Bagi saya, tak bisa lain, inilah masyarakat yang sakit. Rupanya, bukan cuma si doktor atau si master ecek-ecek saja yang sakit. Semua kita sudah sakit.
Contoh getir sudah saya alami sendiri. Suatu saat saya diundang oleh sebuah universitas swasta memberi ceramah. Karena saya memang tidak pernah mencantumkan gelar, tanpa sepengetahuan saya, panitia memasang MBA (padahal tak punya) di belakang nama saya pada spanduk, undangan, dan sertifikat seminar. Ketika saya persoalkan, mereka berkilah, janggal seorang penceramah dan direktur sebuah institut hanya bernama polos. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Jika dunia akademis saja tidak lagi percaya pada kekuatan kompetensi teknis (itu sebabnya saya diundang) – lalu menggantungkannya pada wibawa sebuah gelar – kita bisa membayangkan apa yang terjadi di masyarakat.

***

Apakah mungkin menyembuhkan penyakit ini? Yang jelas, tak ada gunanya melarang dengan sebuah SK menteri apalagi dirjen. Mereka pandai berkelit dan lihai membenarkan diri.

Hemat saya, pertama-tama, kita harus berani berteriak bahwa gelar mereka itu cuma ecek-ecek, tidak sejati, tidak autentik. Dalam kaitan ini, media harus memberi tempat pada teriakan semacam ini. Jangan sebaliknya malah mengambil untung dengan memberi ruang bebas pada iklan mereka. Minimal, iklan gelar ecek-ecek harus diperlakukan sama dengan iklan kondom.

Kedua, instansi publik termasuk perusahaan harus menyisir lebih ketat supaya pemilik gelar ecek-ecek jangan sampai masuk melalui proses rekrutmen. Jika lolos juga dan belakangan ketahuan, agar dipecat secara tidak hormat dengan delik penipuan.
Ketiga, agar pemilik gelar sejati berusaha menahan diri memamerkan gelarnya. Tak usahlah memasang gelar jika bukan dalam konteks akademik. Mudah-mudahan pemilik gelar ecek-ecek itu jadi sungkan dengan kerendahan hati para sarjana sejati. Gerakan hemat-memakai-gelar ini perlu diperluas sekaligus agar gelar-gelar sejati itu kembali mendapat kehormatan yang layak. Bukankah bintang kehormatan semacam Jalasena tidak dipakai orang sehari-hari tetapi pada acara khusus saja? Dalam kaitan ini, saya menyatakan respek kepada Kusmayanto Kadiman, Rektor Institut Teknologi Bandung. Ketika kami berseminar dua bulan lalu di Jakarta, ia wanti-wanti agar gelar akademisnya tak usah dipasang. Saat saya tanya alasannya kemudian, ia menjawab dalam rangka silent protest bagi gelar ecek-ecek. Ini sebuah contoh yang saya maksudkan.

Diharapkan, jika semakin banyak orang sadar bahwa gelar ecek-ecek bergentayangan di masyarakat, mereka akan malu menggunakannya sehingga berkurang dengan sendirinya. Bisnis jual beli gelar boleh tetap ada, bahkan mereka berhak hidup sama seperti bisnis-kaki-lima Man of the Year majalah Time. Tetapi semua kita sepakat bahwa itu just for fun, cuma ecek-ecek. Jika toh ada orang yang mau membayar lima juta untuk kegiatan ecek-ecek, dalam konteks ini, hal itu sah-sah saja.

***

Namun mengusulkan hal di atas sebenarnya sekaligus menepuk air di dulang ke muka universitas-universitas kita. Pertama, jumlah sarjana penganggur (gelarnya bukan ecek-ecek) sudah mencapai 500.000 orang dan bertambah 50.000 setiap tahun (Kompas, 22 April).

Sementara itu instansi resmi, khususnya perusahaan swasta, selalu kekurangan tenaga bermutu tinggi. Di dunia bisnis saya tahu persis, mendapatkan 2 atau 3 pegawai baru dari 2.000-an pelamar setingkat S1 adalah peristiwa rutin. Artinya, ada problem kualitas yang amat besar dalam sistem pendidikan tinggi kita.

Maka inilah gugatan kita: Mengapa mahasiswa diluluskan padahal belum bisa berpikir dan berbahasa dengan runtut? Mengapa orang diberi gelar sarjana padahal sekadar bekerja profesional pun tidak bisa? Mengapa keluaran universitas tidak mampu berkerja menggunakan metoda ilmiah yang rigor dan koheren? Mengapa mereka disebut magister dan doktor tapi tidak mampu memproduksi karya-karya ilmiah seperti artikel, makalah, buku, dan laporan kecuali dulu sebagai persyaratan lulus? Dan di markas besarnya, mengapa ada dosen yang dibiarkan eksis tanpa menulis karya ilmiah padahal ada prinsip publish or perish?

Kualitas rendah adalah ciri pokok apa saja yang disebut ecek-ecek. Saking rendahnya kualitas sarjana di atas tadi, bisa dikatakan hampir tak ada lagi bedanya dengan sarjana ecek-ecek. Dan ini tentu mengundang dugaan nakal lainnya. Jangan-jangan sejak awal memang ecek-ecek belaka. Ada Ebtanas ecek-ecek, NEM ecek-ecek, UMPTN ecek-ecek, kurikulum ecek-ecek, kuliah ecek-ecek, universitas ecek-ecek, dosen ecek-ecek, dan sarjana ecek-ecek.

***

Pada arah sebaliknya, kita harus mempromosikan kembali betapa pentingnya orang biasa, betapa terhormatnya orang bersahaja, betapa mulianya hidup apa adanya. Khususnya, kita perlu mengharg ai orang biasa tetapi mampu berkarya luar biasa. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Rendra, adalah contoh insan tidak bergelar, tetapi kualitas karya mereka melebihi karya sarjana, bahkan sudah mencapai tahap empu (maestro) di bidang masing-masing.

Tampil bersahaja namun berkualitas bertambah penting lagi karena masyarakat kita sangat suka pada gincu. Dan gincu bangsa kita sudah terlalu tebal. Alhasil, jadi norak. Buktinya, sekian banyak doktor ekonomi kita tapi ekonomi bangsa ini sangat payah. Sekian banyak sarjana hukum kita tapi nasib dewi keadilan terpuruk di negeri ini. Sekian banyak doktor politik kita tapi kondisi politik republik ini amburadul. Sekian banyak inspektur, komisaris, dan jenderal kita tapi keamanan nusantara rawan di mana-mana. Jadi bukankah kita layak menduga bahwa di balik gelar-gelar mentereng itu sebenarnya tidak ada apa-apa? Kosong tanpa kualitas? Ecek-ecek? Gincu doang?

Kita bukan anti gincu. Tapi marilah mengakui bahwa itu memang gincu. Yang kita tolak adalah klaim bahwa gincu itu rona asli wajah kita. Jadi, marilah memulai kebersahajaan: Jangan lagi pakai gelar-gelar akademis itu. Bukan karena tidak boleh, tetapi dengan tampil bersahaja kita selalu diingatkan bahwa kita belum apa-apa. Kita disadarkan, yang penting itu kualitas ilmunya, bukan gelarnya.

Saya mempunyai buku yang mengoleksi sejumlah surat Einstein dengan ilmuwan sezamannya. Saya takjub, tak sekalipun saya temui tertulis Prof. Dr. Albert Einstein. Cukup ditulis A. Einstein atau Albert Einstein saja. Sangat bersahaja, sangat biasa. Tapi kita belum lupa, Einstein sudah dinobatkan sebagai Man of The Century oleh majalah Time di penghujung tahun 2000 lalu. Artinya, dialah individu yang karena kedalaman ilmunya diakui sebagai penyumbang terbesar terhadap peradaban manusia sepanjang abad ke-20. Jadi, jika kita tidak lagi malu pada diri sendiri, tidak malu lagi pada masyarakat, tidak malukah kita kepada Einstein?

Kini Indonesia terpuruk dengan utang ratusan milyar dolar. Sebab fundamentalnya, menurut saya, ialah karena kita tidak bersedia hidup bersahaja apa adanya. Sebaliknya kita kepingin keren dan hebat, punya ini punya itu, kelihatan begini kelihatan begitu. Lalu kita membeli gincu mahal-mahal dengan utang kiri kanan. Maka pasak pun semakin besar sementara tiang semakin kecil.

Maka sekali lagi, marilah sederhana dan bersahaja: Gelar No, Ilmu Yes!

Manusia, Kota, dan Etos Pembangunan


Oleh: Jansen H. Sinamo

To change life, we must first change space
- Henri Lefebvre, French writer

Meskipun Homo sapiens sudah jadi spesies unggul sejak 40.000 tahun yang silam tetapi kota sebagai bentuk organisasi sosial baru muncul kurang dari 10.000 tahun yang lalu. Sebelum itu, manusia hidup sebagai kelompok-kelompok nomaden yang terus bergerak sebagai pemburu dan pengumpul hasil-hasil alam untuk makanan mereka. Kelompok-kelompok itu belum memiliki pemukiman karena mereka belum sanggup melumbungkan surplus makanan secara memadai. Hidup mereka sangat marjinal: bertahan hari lepas hari melulu oleh kemurahan alam.

Namun selepas itu, di berbagai wilayah di dunia, gejala kota akhirnya muncul juga ketika jumlah anggota kelompok-kelompok nomaden itu terus bertambah dan mulai bermukim. Hal ini dimungkinkan oleh tiga faktor: ketersediaan pangan di wilayah itu, bertambah baiknya pengorganisasian kerja di dalam kelompok-kelompok itu, dan berkembangnya pertukaran komoditas atau perdagangan antarkelompok.

Ketersediaan pangan di berbagai wilayah yang disebut di atas terjadi karena iklim Bumi semakin hangat. Sesudan zaman es terakhir – diperkirakan usai sekitar 13.000 tahun silam – tanah terus menghangat sehingga memunculkan banyak tumbuhan baru, khususnya berbagai jenis tanaman pangan. Inilah awal zaman pertanian. Lumbung-lumbung dibangun untuk menampung surplus pangan itu. Hewan-hewan liar dijinakkan dan diternakkan, terutama kambing, domba, kuda, kerbau, dan sapi. Teknologi pengolahan tanah berkembang dengan memanfaatkan tenaga hewan-hewan itu. Semua itu menyumbang terhadap surplus pangan lebih lanjut. Akibatnya, pemukiman semakin berkembang dan semakin terjamin (sustainable), jumlah penduduk bertambah karena semakin cukup makan, dan ragam pekerjaan non-petani pun bertambah pula seperti seniman, ahli bangunan, ahli irigasi, tukang, pedagang, dan lain-lain. Singkatnya, proto-kota pun lahir.

Diversifikasi sosial juga muncul. Lahirlah kelas elit: para penakluk, kaum bangsawan, dan agamawan yang memerintah dan menentukan tata kehidupan bersama dalam kelompok itu. Mereka jadi kelas penguasa atas kaum tani, penata irigasi, gembala, pedagang, tukang, dan seniman. Demi keperluan hidup bersama dan kelanggengan kelas penguasa itu dibangun dan diperkenalkanlah bangunan-bangunan publik, tata upacara dan peribadahan, alat tukar, sistem perpajakan, dan metoda akumulasi kekayaan.

Pasar pun lahir. Perdagangan pun marak. Kota pun kian berkembang.

Aksara juga ditemukan, demikian pula ilmu-ilmu hitung dan ukur yang dipakai dalam perdagangan, pembangunan irigasi, pertukangan, dan pembangunan kota. Ilmu-ilmu prediktif juga muncul untuk menentukan musim tanam, musim panen, hari-hari raya, dan saat untuk berperang. Lahir pula ekspresi seni dalam arsitektur kota dan bangunan-bangunan publik. Maka kota pun semakin ramai.

Demikianlah kota Yeriko muncul di wilayah Palestina yang sekarang sekitar tahun 7000 SM yang tumbuh dari desa menjadi kota dengan sekitar 3.000 penduduk.
Antara tahun 4000-3500 SM kota besar pertama dengan populasi sekitar 25.000 muncul di wilayah Mesopotamia, di lembah sungai Tigris dan Eufrat: Babel dan Niniwe. Kotanya sudah berkubu. Rumah-rumah dibangun dengan batu-bata yang terbuat dari lempung yang dibakar. Meski jalan-jalannya naik-turun-berkelok, sempit, dan tanpa perkerasan yang memadai, mereka sudah memakai alat angkut beroda.

Di Mesir, di sepanjang lembah sungai Nil, kota sudah ada sejak tahun 3300 SM seperti Tmn-Hor, Tell al-Rub, Pr-Bastet, Hwt-ka-Ptah, To-She, Akhetaten, dan Kemet. Tetapi kita lebih tahu tentang piramid-piramid Mesir daripada kota-kota di atas.

Di India ada dua kota utama, Harappa dan Mohenjo-Daro, yang muncul sekitar tahun 2500 SM. Jalan-jalannya lurus sehingga membentuk blok-blok pemukiman berbentuk segi empat. Sudah ada sistem pembuangan sampah dan air limbah. Inilah kota pertama yang menujukan tanda-tanda pembangunan yang berencana. Barat kota adalah pusat religius, politik, dan pendidikan. Petani tinggal di luar tembok kota dekat perladangan. Kelompok miskin menempati pinggir kota tetapi masih berada di dalam tembok. Pedagang dan seniman tinggal di dekat pusat kota, sedangkan bangsawan, agamawan, dan punggawa kerajaan menempati wilayah pusat.

Di Yunani kota muncul di sekitar tahun 2000 SM seperti Sparta, Thebes, Argos, Delphi, dan Olympia. Athena jadi kota utama sekitar tahun 800 SM. Struktur kotanya berbentuk lingkaran. Jalan-jalannya berpangkal dari pusat dan memencar keluar secara radial. Bagian-bagian kota juga memencar dari pusat sehingga setiap kelompok penduduk merasa tinggal dengan jarak yang sama dari pusat kota.

Di Cina kota muncul antara tahun 2000-1500 SM seperti Chang'an, Fanyang, Jiankang, Lingzhou, Xiangyang, Yinxu, dan Zhaoge.

Kota Roma dibangun antara 700-600 SM. Kelak, ketika kekaisaran Romawi semakin berjaya Roma pun menjadi kota internasional pertama di dunia.

Di Amerika Tengah (Meksiko, Guatemala, Honduras, dan El Salvador) kota-kota mulai tampak pada sekitar tahun 200 SM.

Di Eropa kota-kota bermunculan mulai abad ke-4 dan satu per satu menjadi kota industri sejak abad ke-18. Inilah permulaan kota-kota modern yang kita kenal sampai sekarang. Sesudah itu, gejala desa yang mengalami proses kotanisasi merambah dengan cepat ke seluruh dunia. Dan urbanisasi pun menjadi sebuah gejala global. Kini dunia telah memiliki ratusan kota raksasa: metropolitan dan megapolitan.

Kota Raja, Kota Tuhan Tidak banyak kota yang diketahui siapa arsitek pembangunannya? Hal ini wajar sebab fenomena kota sebenarnya lebih masuk akal difahami sebagai fenomena “emergence”, dimana pemukiman kecil berubah jadi desa, berkembang perlahan-lahan, dan akhirnya menjadi kota; daripada fenomena arsitektur, dimana seorang arsitek agung merancang, merencanakan, dan membangun sebuah kota dari nol sampai selesai.

Tetapi ada kekecualian. Tradisi menyebutkan kota Babel dibangun oleh raja Sargon (hidup sekitar abad ke-24 SM). Neo Babel dibangun (mungkin lebih tepat diperluas dan ditata ulang) oleh raja Nebukadnezar (630-562 SM). Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama mencatatnya sebagai berikut: “Semuanya itu terjadi atas raja Nebukadnezar; sebab setelah lewat dua belas bulan, ketika ia sedang berjalan-jalan di atas istana raja di Babel, berkatalah raja: “Bukankah ini Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?”
Legenda juga menyebutkan Roma dibangun oleh Romulus dan menjadikannya ibukota kerajaannya.

Catatan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan adalah kota-kota yang dibangun oleh Iskandar Agung (Alexander the Great: 356-323 SM) dalam ekspedisi penaklukannya selama sepuluh tahun. Di setiap wilayah ia meletakkan rancangan, memulai pembangunan, atau menata ulang kota yang ditaklukkannya sesuai dengan gaya dan selera seni dan arsitektur Yunani. Kota-kota yang dikaitkan dengan jenderal akbar ini antara lain Alexandria (Mesir), Iskandiriyah (Irak), Alexandria Asiana (Iran), Alexandria Ariana (Afganistan), Kandahar (Afghanistan), Alexandria Bucephalous (Pakistan), Alexandria Eschate (Tajikistan), dan Iskenderun (Turki).

Kota-kota kuno yang dibangun oleh atau atas perintah seorang raja mempunyai fungsi yang mirip: sebagai lumbung kekayaan, pusat kekuasaan, dan lambang kemuliaan, bahkan sebagai kota Tuhan. Babel atau Babylon misalnya, nama kota itu berasal dari bahasa Akkad babilu, yang berarti gerbang para dewa. Dalam paradigma kuno itu, raja umumnya dianggap sebagai representasi Tuhan, bahkan titisan Tuhan. Maka kota raja juga berarti kota Tuhan. Vatikan, Mekah, dan Yerusalem sampai hari ini tetap disebut kota suci bagi para pemeluk teguh agama-agama samawi.

Namun demikian, tidak banyak kota-kota kuno itu yang bisa bertahan hingga kini. Tiga kota yang disebut belakangan adalah sedikit yang jadi kekecualian. Kebanyakan telah runtuh dan terbenam dalam timbunan debu tebal dari abad ke abad sehingga hanya para arkeolog saja yang mampu merekonstruksinya.

Problem utama kota-kota kuno itu sehingga akhirnya ditinggalkan warganya, kosong, dan jadi reruntuhan adalah sanitasi. Tumpukan sampah dan limpasan air limbah jadi sumber berbagai penyakit menular yang membinasakan warganya. Selain itu, api yang tidak bisa dikontrol marak menjadi kebakaran besar sehingga menghanguskan seluruh kota.

Tetapi perang adalah sebab utama kehancuran kota-kota kuno. Yerusalem misalnya, dalam sejarahnya yang panjang sejak abad ke-18 SM sempat tiga kali dihancurkan: pada tahun 586 SM oleh raja Babel, Nebukadnezar; pada tahun 70 oleh penguasa Romawi di Palestina, Jenderal Titus; dan pada tahun 1480 oleh pasukan Mongol yang merambah dengan buas dari Asia Tengah.

Namun Yerusalem terhitung beruntung: ia selalu dibangun kembali. Kota-kota seperti Khartago, Sukhothai, Ayutthaya, Mohenjo-Daro, Harappa, Karakorum, Akkad, Ur, Babel, Niniwe, Persepolis, Troya, Machu Picchu, dan Pompeii kini tinggal hanya reruntuhan, bahkan hilang terbenam.

Berbeda dengan kota-kota kuno, problem kota-kota modern terutama disebabkan tekanan populasi dan manajemen kota yang buruk. Soal tekanan populasi ini dapat kita apresiasi dari data berikut ini. Jika pada sekitar tahun 8000 SM penduduk dunia hanya 100 juta, pada permulaan abad Masehi masih 300 juta, tetapi sejak abad ke-19 jumlah itu meningkat dengan sangat pesat: tahun 1800 (1 milyar), tahun 1930 (2 milyar), tahun 1962 (3 milyar), tahun 1974 (4 milyar), tahun 1987 (5 milyar), dan tahun 2000 (6 milyar). Ketika urbanisasi berlangsung justru karena daya tarik kota itu sendiri maka pada titik jenuh tertentu tekanan populasi itu mengakibatkan komplikasi berbagai masalah bagi kota tersebut dan segenap warganya.

Kota Rakyat, Kota Publik
Era kota raja dan kota Tuhan berakhir sudah. Kini kota-kota di dunia adalah kota rakyat, kota publik, atau kota warga. Artinya, kota adalah urusan publik, urusan segenap warga kota. Dikatakan tegas: setiap kota harus mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan warganya. Dikatakan lain: kota dinilai tidak lagi berdasarkan selera raja, selera penguasa, tetapi dinilai berdasarkan keterpenuhan aspirasi publik, yakni hidup yang berkualitas bagi segenap warga kota.

Dewasa ini, sejauh menyangkut kualitas hidup warganya, Zurich dan Jenewa adalah dua kota terbaik di dunia. Demikian hasil survei Mercer Consulting yang diterbitkan pada bulan April 2007. Vancouver menduduki nomor tiga dan berturut-turut diikuti oleh Wina, Auckland, Düsseldorf, dan Frankfurt. Penilaian itu didasarkan atas tiga puluh sembilan determinan kualitas hidup manusia yang dikelompokkan dalam sepuluh kategori sebagai berikut:
1. Political and social environment (political stability, crime, law enforcement, etc.)
2. Economic environment (currency exchange regulations, banking services, etc.)
3. Socio-cultural environment (censorship, limitations on personal freedom, etc.)
4. Health and sanitation (medical supplies and services, infectious diseases, sewage, waste disposal, air pollution, etc.)
5. Schools and education (standard and availability of international schools, etc.)
6. Public services and transportation (electricity, water, public transport, traffic congestion, etc.)
7. Recreation (restaurants, theatres, cinemas, sports and leisure, etc.)
8. Consumer goods (availability of food/daily consumption items, cars, etc.)
9. Housing (housing, household appliances, furniture, maintenance services, etc.)
10. Natural environment (climate, record of natural disasters, etc.)

Jika hal-hal di atas merupakan faktor penentu bagus tidaknya sebuah kota, maka dikatakan sebaliknya, secara negatif, maka kota yang buruk adalah kota yang...
1. fasilitas kesehatannya tidak memadai;
2. fasilitas pendidikannya tidak memadai;
3. infrastruktur dan fasilitas angkutan massalnya buruk;
4. jalan-jalan besarnya tidak memadai;
5. jalan-jalan kecil buat warga pejalan kaki tidak ada atau dibiarkan tak terawat;
6. kantong-kantong penduduk miskinnya banyak;
7. keamanannya rendah atau sudut-sudut kota tertentu keamanannya rendah;
8. kelompok-kelompok premannya yang memeras warga kota banyak;
9. keterlibatan warganya dalam memelihara fasilitas kota rendah;
10. ketersediaan air bersih, listrik, dan teleponnya rendah;
11. korupsi di jawatan-jawatan publik di kotapraja tinggi;
12. kotanya semrawut, tidak ada zonasi kota yang terencana dan tersistem;
13. peredaran dan penggunaan narkoba dan minuman keras tidak terkontrol;
14. permusuhan dan perkelahian antarkelompok warga kota tinggi;
15. sektor kumuhnya banyak;
16. tingkat kemacetannya tinggi;
17. tingkat krimininalitasnya tinggi;
18. tingkat penganggurannya tinggi;
19. tingkat polusinya tinggi; dan
20. wilayah lampu merah dan perjudiannya berkembang tidak terkontrol.

Pengembangan Kota dan Etos Pembangunan
Meskipun kota-kota modern kini adalah kota publik, urusan publik, dan bukan kota raja apalagi kota Tuhan, tapi secara politik warga kota kemudian menyerahkan tanggungjawab pemerintahan dan manajemen kota mereka kepada seorang walikota melalui proses pemilihan umum. Itu berarti walikota adalah orang yang menjadi wali-pemegang-amanah seluruh warga kota agar kota mereka dikelola menjadi kota yang baik.

Selanjutnya, proses, program, dan proyek untuk mewujudkan aspirasi seluruh warga kota itu secara teknis diserahkan kepada para kontraktor pembangunan dan pemeliharaan kota.

Tetapi secara profesional semua aspirasi warga kota di atas diserahkan kepada para arsitek. Inilah sebuah profesi yang semakin penting peranannya dalam menjawab masalah-masalah perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia.

Tri Harso Karyono, guru besar arsitektur Universitas Tarumanagara dan peneliti utama pada Balai Besar Teknologi Energi (B2TE BPPT), Serpong, dalam artikelnya “Pemanasan Bumi dan Dosa Arsitek”, di harian KOMPAS, Selasa, 11 September 2007, mengatakan: Arsitek berperan besar dalam [pemanasan] Bumi. Kekeliruan tangan arsitek akan memanaskan Bumi dan berpotensi lebih besar membasmi manusia dibandingkan dengan kemampuan teroris.

Sedemikan dahsyat peran arsitek modern bagi kehidupan manusia sebagaimana dikatakan Tri Harso Karyono di atas, maka tidak berlebihan jika peran arsitek itu dapat saya ungkapkan bagi kehidupan sebuah kota sebagai berikut: Arsitek berperan besar dalam menentukan hitam putihnya sebuah kota. Kekeliruan tangan arsitek akan menghancurkan sebuah kota dan berpotensi membuat kota itu menjadi kota setan.

Semakin krusial peranan suatu profesi dalam masyarakat, semakin penting pula profesi itu merumuskan etosnya, menegakkan etos itu, dan menghukum anggota profesi yang melanggarnya. Hanya dengan demikian sebuah profesi punya tempat yang terhormat dalam masyarakat. Sejumlah profesi sudah melakukannya: dokter, wartawan, dan pengacara. Ciri khasnya: mereka punya asosiasi profesi, dan dalam tubuh asosiasi itu terdapat sebuah dewan kehormatan sebagai mahkamah tertinggi dalam penegakan etos profesi itu.

Sekarang, marilah kita selidiki serba sedikit tentang etos ini. Dengan memeriksa sejumlah kamus, kita akan menemukan bahwa etos adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, antara lain: (a) esprit d’corps; (b) karakter, keyakinan, dan hakikat moral dari seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi; (c) kode perilaku suatu perusahaan yang menentukan cara bagaimana mereka memperlakukan karyawannya, pelanggannya, lingkungannya, serta tanggungjawab-tanggungjawab legalnya; (d) spirit khas suatu budaya atau era; dan masih banyak lagi.

Tapi untuk keperluan seminar ini saya memilih mengartikan etos sebagai sebuah rumusan yang disepakati bersama tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan (profesi) yang mereka jalankan, dan perilaku apa yang dituntut untuk mencapai hal paling penting tersebut, termasuk apa-apa yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi tersebut.

Inilah definisi etos profesi yang berlaku umum untuk semua profesi seperti keguruan, kedokteran, kehakiman, kependetaan, kewartawanan, kemiliteran, kepengacaraan, dan kearsitekan.

Dan hari ini kita berbicara tentang etos kearsitekan atau etos arsitek.
Ketika kota dirumuskan oleh panitia seminar ini – yang notabene terdiri dari sejumlah arsitek muda yang idealis, kreatif, dan berwawasan luas – (1) sebagai sebuah simbolisme kosmik, (2) sebagai manisfestasi spiritualitas manusia, (3) sebagai biosfer hidup yang berkelimpahan, (4) sebagai ekosistem pengembangan manusia, (5) sebagai mandala penciptaan karya-karya yang estetik, (6) sebagai wilayah kerja yang produktif, dan (7) keragaman sosial budaya manusia urban, harus diakui bahwa aspirasi ini adalah sebuah rumusan yang ideal, luhur, dan menyeluruh.

Dengan mengandaikan bahwa konsep kota di atas sekarang diterima dan dianggap sangat penting oleh komunitas arsitek di negeri ini, maka dalam bahasa etos, idealisme tentang kota di atas – di tingkat perilaku kerja – dapat coba saya rumuskan sebagai berikut:

Etos 1: Kota adalah simbolisme kosmik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mengingatkan warganya bahwa kota sebagai ruang kehidupan adalah bagian dari kosmos ciptaan Tuhan yang punya desain, keteraturan, keluasan, keagungan, dan keindahan.

Etos 2: Kota adalah manisfestasi spiritualitas manusia; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu membuat seluruh warganya merasa terhubungkan satu sama lain, yang merasa menyatu dengan lingkungannya, serta memetik makna, identitas, dan kebanggaan daripadanya sehingga menumbuhkan rasa cinta pada kotanya.

Etos 3: Kota adalah biosfer hidup yang berkelimpahan; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang lapang, longgar, lancar, bersih, hijau, berlimpah dengan air segar dan udara murni, serta bebas dari sampah maupun limbah.

Etos 4: Kota adalah ekosistem bagi pertumbuhan manusia yang sehat; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang cukup ruang untuk bermukim, bekerja, belajar, bermain, berekreasi, beribadah, berolahraga, berkesenian, dan berkebudayaan.

Etos 5: Kota adalah mandala penciptaan karya-karya yang estetik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang secara keseluruhan dinilai sebagai indah, termasuk bagian-bagiannya, unit-unitnya, dan detail-detailnya sehingga mampu memuaskan cita rasa seluruh warga kota secara sensual-indrawi, intelektual-karsawi, dan spiritual-rohani.

Etos 6: Kota adalah lapangan kerja yang produktif; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan cukup ragam mata pencaharian bagi segenap warganya: dari jenis pekerjaan yang cuma mengandalkan otot, keringat, dan fisik sampai jenis pekerjaan yang mengandalkan imajinasi, kreativitas, dan inovasi.

Etos 7: Kota adalah wahana keragaman sosial-budaya manusia urban; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan ruang untuk ekspresi keragaman sosial-budaya itu, interaksi sinergis dalam pluralisme itu, serta kultur apresiatif dalam kebhinekaan itu.

Sesungguhnya perumus etos suatu profesi haruslah orang dalam profesi itu. Demikian pula etos arsitek haruslah dirumuskan oleh para arsitek itu sendiri. Orang seperti penulis makalah ini, meski pun sering dijuluki media sebagai mister etos atau guru etos, paling banter bisa berperan sebagai konsultan saja.

Sebagai penutup, izinkanlah saya meninggalkan sebuah saran: panitia seminar ini perlu sesegera mungkin berkoordinasi dengan Ikatan Arsitek Indonesia guna merumuskan sehimpunan etos arsitek yang luhur, menyeluruh, inspirasional, dan motivasional sehingga pada satu waktu nanti kita akan melihat kota-kota di republik ini sungguh-sungguh menjadi kota-kota yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja”.

Apa yang saya rumuskan di atas adalah sebuah percobaan dan harus dianggap sebagai sebuah masukan saja. Terimakasih dan selamat berseminar.

Becoming Self-Conscious: Exploring Habitus


By
Deborah Tranter - University of South Australia
 
Abstract
Bourdieu’s theory of reproduction in education and his concepts of field, capital and habitus offer a useful way of thinking about the ways in which the environments in which people are raised, their conditions of cultural and material existence, shape their attitudes, their means of interpreting the world, and their capacities to engage with the academic curriculum.

This paper draws on data collected for my doctoral research on the influence of school culture on the higher education aspirations of secondary students in one of the most educationally disadvantaged regions in Australia, the outer northern suburbs of Adelaide. In this paper I discuss how my reading of Bourdieu, and particularly his concept of habitus, has contributed to an increased self-awareness of my own positioning within the field of education and has informed the interpretation of my data.

Introduction
To begin with, it is important for me to assert that my research is based on the premise that higher education is a valuable opportunity that should be equally accessible to all, no matter their socio-economic background. As a university staff member with responsibility for enhancing access to higher education I have grappled with the continuing socio-economic inequalities evident in university intakes, despite concerted efforts on the part of the sector, and my institution in particular. While I recognise that university is not for everyone, I argue that participation in higher education should not be determined by who your parents are, where you live or what school you attend. However in Australia today we see a large disparity in participation rates, very much determined by where one lives and where one goes to school. Students in the affluent eastern suburbs of Adelaide, for example, are up to seven times more likely to attend university than students from the outer northern suburbs, a region with the third lowest higher education participation rate in Australia (Stevenson, McLachlan and Karmel, 1999).

In asserting my position on the value of higher education I must confess that unusually for my baby boomer generation, I grew up always expecting to go to university; in fact I cannot recall ever thinking otherwise. On my father’s side I am third generation university-educated and for many years my father was a university academic. I grew up with an unconscious sense of entitlement and certainty (Reay, David and Ball, 2005) that I would follow in the footsteps of my father and grandfather and graduate from university. My mother, who grew up working class and did not finish secondary school, played an important role in encouraging these expectations, determined that her children would fulfil ambitions she was unable to achieve.

While we were never wealthy, we were comfortable enough to allow my mother to stay at home and nurture the development of the cultural capital so valued by the family, and the education system (Reay and Ball, 1998). I was immersed in cultural capital (Bourdieu, 1993) from birth along with an almost moral repugnance to the instrumentalism of the economic market.

The instrumentalism of economic capital is the opposite of the central value associated with ‘culture’ that … proclaims the principled rejection of such instrumentalism" (Moore (2004) p 446).

Shakespeare, Austen, Dickens and reams of poetry were read to me while still small; classical music was an integral part of our lives and we poured over my father’s art books from an early age. Like most children, I took the ways of home for granted and never thought about how culturally privileged my childhood had been. My secondary education in the academic stream of a middle class high school did little to disturb this complacency. Ironically, it was only when I commenced university myself, and began meeting a broad range of students from very different families that I began to reflect on my own background and how advantaged I had been. Even then though, I didn’t come to realise the extent of this advantage until many years later when, commencing discussions with my PhD supervisor, I was introduced to the work of Bourdieu. Suddenly so many of the questions framing my research proposal made sense as I began to realise how narrowly circumscribed and privileged my life had been.

In this paper I will briefly outline some of the key concepts of Bourdieu’s theory of reproduction in education, particularly focusing on habitus. I will then move to a discussion of reflexive sociology and how I have used reflexivity and habitus to explore my own positioning in relation to my research questions and to inform the interpretation of my data.

Bourdieu’s theoretical framework
Bourdieu’s theory of reproduction in education uses the concepts of field, capital and habitus in developing an explanation of how the environment in which people are raised, their conditions of cultural and material existence, shape their attitudes, their means of interpreting the world, and their capacities to engage with the academic curriculum (Bourdieu and Passeron, 1977).

The concept of cultural capital contests the biological determinism of ‘natural intelligence’ - "the received wisdom that attributes academic success or failure to natural aptitudes" (Reay et al 2005, p19). Bourdieu explains academic success by the cultural capital imbued from one’s upbringing that advantages (or disadvantages) a student in their educational trajectory. Key elements include the appreciation of art, music and education for their own sake; the books available at home, the musical instruments learned, the language and behaviour of the dominant classes, those who control the economic, social and political resources. Cultural capital is the knowledge of and familiarity with prestigious forms of cultural expression. It can be embodied from early childhood but may be also acquired in its institutional form through qualifications gained at school and university (Bourdieu, 1993a).

Bourdieu developed his concept: "as a theoretical hypothesis which made it possible to explain the unequal scholastic achievement of children originating from different social classes by relating academic success, i.e., the specific profits which children from the different classes and class fractions can obtain in the academic market, to the distribution of cultural capital between the classes and class fractions" (Bourdieu, 1993a, p243).

He identifies three forms of cultural capital: the embodied state; incorporated in mind and body and accumulated from early childhood. This form requires the investment of time by parents and others to sensitise the child to cultural distinctions (eg parents reading to children from a very young age, playing classical music in the home) and is particularly prevalent amongst the established middle class (Reay et al, 2005) objectified state; objectified in material objects and cultural goods, artefacts, books, paintings, musical instruments and "transmissible in their materiality" (Bourdieu, 1993a, p 246) the institutionalised state; in the form of educational qualifications, the "certificate[s] of cultural competence which confer on its holder a conventional, constant, legally guaranteed value with respect to culture, … institutional recognition of the cultural capital possessed by any given agent" (Bourdieu, 1993a, p248).

Cultural capital exists in relation to other forms of capital that constitute advantage and disadvantage - economic, symbolic and social. Bourdieu asserts that "academic qualifications are to cultural capital what money is to economic capital" (Bourdieu and Passeron, 1977, p 187). And while the values associated with cultural capital may be oppositional to the instrumentalism of economic capital at one level (art, or knowledge, for its own sake rather than any extrinsic reward), the accumulation of cultural capital relies heavily on the exchange or ‘transubstantiation’ of economic capital (Moore, 2004 p445), to purchase books, artefacts or an elite education. The education system, and schools particularly, have an implicit role in reproducing social and cultural inequalities and privileging the cultural practices of the dominant classes through maintaining "the pre-existing order, that is the gap between pupils endowed with unequal amounts of cultural capital" (Bourdieu 1998, p 20). Bourdieu notes (1993a) that as educational qualifications become increasingly necessary for access to secure employment, especially in higher status occupations, the role of the education system in the transmission of cultural capital becomes increasingly important, further disadvantaging those who miss out.

All human actions take place within social fields, "the particular social setting where class dynamics take place" (Reay et al, 2005, p 27) through the struggle for capital, for example a school, a workplace or the broader fields of politics, religion, the law, higher education and so forth. The concept of field is sometimes described as a game with rules to it, "or, better, regularities, that are not explicit or codified" (Bourdieu and Wacquant, 1992, p98). Hence in the field of education, qualifications are the capital (the ‘prize’) in the game. Schools and universities control the dispersal of that capital through the determination of what knowledge is considered ‘legitimate’ and by ensuring the reproduction of that knowledge through the allocation of grades and qualifications (Oakley and Pudsey, 1997). They act as gate-keepers to that knowledge, discriminating in favour of those who know how to play the game and win the prize while those who don’t know the (often implicit) rules are excluded and fail. Continuing the metaphor of the game, in the field of education the understanding of how the game is played and how to win, the ‘"sense of the game" (Bourdieu and Wacquant, 1992, p120), is a key element of the habitus.

The concept of habitus is at the core of Bourdieu’s work, developing from his desire to move beyond the dualisms of agency/structure and objective/subjective in the interests of a new theory of practice. Habitus is a structured or "socialized subjectivity" (Bourdieu and Wacquant, 1992 p126). In An Outline of a Theory of Practice (1977) Bourdieu explains how practice (agency) is linked with capital and field (structure) through habitus, illustrated figuratively by a formula he included in Distinction (1984, p110): (Habitus x Capital) + Field = Practice.

Habitus describes people’s embodied capacity to assume the attitudes and actions required within particular social fields. It is habitus and its relationship to the field and the capital valued by the field that determines whether a person is able to win, or even play, the game. It is a preconscious, shared set of acquired and embodied dispositions and understandings of the world, developed through both objective structures and personal history.

The habitus is the product of the work of inculcation and appropriation necessary in order for those products of collective history, the objective structures, (eg language, economy etc) to succeed in reproducing themselves more or less completely, in the forms of durable dispositions". (Bourdieu, 1977. p85)

The term is related to the words habit/habitual and implies a tendency to act in a particular way, a ‘taken for granted’ world view that we carry around with us, deeply internalised within our bodies as well as our minds, usually below the level of consciousness; absorbed into our cognitive structures from a very young age. It provides the context within which we later perceive and evaluate all life experiences. Habitus is second nature, knowing how to ‘walk the walk’ and ‘talk the talk’ in relation to a particular field, how to play the game. It’s ‘the way we do things here’; what one eats, how one holds oneself, how one dresses, ones tastes, preferences and expectations concerning life chances.

For Bourdieu the dispositions of habitus are not biologically determined but socially and culturally constructed, ‘inherited through subtle reinforcements by which a young child enters the practices and relations of family and community’, (Zipin, p1) shared across families and communities that occupy similar positions in the broader social structure. Habitus further challenges the biological determinism of ‘natural intelligence’. If one is not aware of the depth of cultural construction it is easy to perceive these dispositions as genetic/natural abilities, both within ourselves and within others. As Charlesworth notes (2000), it is often those most culturally dispossessed who see intelligence as genetic, in "a deep and determining way" that they cannot escape (p251).

Habitus is linked to systemic inequalities in society through power and class; it "is a kind of transforming machine that leads us to ‘reproduce’ the social conditions of our own production, but in a relatively unpredictable way." (Bourdieu, 1990, p87) While critics of Bourdieu have questioned the latent determinism of habitus, Bourdieu has long challenged this, pointing out that more or less identical habitus can produce widely different outcomes. He has argued that habitus is "powerfully generative" (Bourdieu, 1990, p87) rather than determining, potentially generating a wide repertoire of possible actions. "Habitus is not the fate that some people read into it. … it is an open system of dispositions that is constantly subjected to experiences, and therefore constantly affected by them in a way that either reinforces or modifies its structures. It is durable but not eternal!" (Bourdieu and Wacquant, 1992, p133). However, Reay contends "while the habitus allows for individual agency it also predisposes individuals towards certain ways of behaving" (2004 p 433), thus contributing to the reproduction of class differences and hence educational inequalities.

Therefore, returning to my own self-discovery, within my familial habitus it was taken for granted that I would attend university, and I and my sisters did. On the other hand, my brother chose to follow a different path, possibly rebelling against his family history and his older sisters, but possibly taking an even more culturally distinctive route as he pursued experimental music, theatre and visual arts, scorning any work which might actually reap economic rewards (though always with the safety net of middle-class family support if the economic situation became too dire).

In Bourdieu’s efforts to theorize the relationship between structure and agency through habitus, he argues for a new ‘reflexive sociology’ (Bourdieu, 1977, Bourdieu and Wacquant, 1992). He challenges both the objectivism of traditional structuralists such as Levi-Strauss and the subjectivism of phenomenology, while attempting to build on them both in a more reflexive account of practice. He calls for an understanding of social life which takes account of both the social and material structures and the practices and experiences of individuals and groups (Calhoun, LiPuma and Postone, 1993). For Bourdieu, reflexivity involves a looking back at one’s own biases, practices and ‘taken for granted’ point of view, to "question the suppositions inherent in the position of an outside observer who, in his preoccupation with interpreting practices, is inclined to introduce into the object the principles of his relations to the object." (1977, p2) [Reflexivity calls] less for intellectual introspection than for the permanent sociological analysis and control of sociological practice … It entails …the systematic exploration of the ‘unthought categories of thought which delimit the thinkable and predetermine the though’ (Bourdieu and Wacquant, 1992, p. 40)

Accordingly, in this paper I have used Bourdieu’s concepts to come to a greater understanding of my own position in relation to my research questions, which in turn enables a more reflexive analysis of the data I have gathered.

So how did I come to my research questions?
My reading of Bourdieu has assisted my insight into why and how there continues to be significant class-based disparities in higher education participation, and how privileged I have been in comparison to the young people I have been working with. I have also come to realise that the dominant classes will always seek to consolidate their dominance through ensuring the distinction of cultural capital, often through the exchange of economic capital (Bourdieu, 1984). Thus, as the Australian higher education system has moved from an elite to a mass system, we have seen an increasing stratification of universities. The conscious decision by the former Hawke Labor Government to develop a unified and relatively egalitarian national system of research-based universities (Dawkins, 1988, Marginson, 2005) has been resisted by the formerly dominant group of ‘sandstone’ universities (Marginson, 2000) and the current conservative Howard Government which has pursued a more diversified (or hierarchical) system. Hence, in 2006 Australia has a much more de-regulated and competitive higher education market, with a clear elite consolidating itself, now able to charge increasing fees and to apply more restrictive entry scores, the sort of scores few students other than those from the most elite (and expensive) schools are able to achieve (Dobson and Skuja, 2005, Win and Miller, 2005).

At the same time, the Howard Government has overseen the rapid expansion of funding to the private school sector with parents increasingly choosing the status they hope private schooling will bestow on their children. Just as higher education has become increasingly hierarchical, with the strengthening of an elite small group of ‘sandstones’, so the school system, both private and public, is becoming increasingly stratified. In this environment, schools such as those I am studying are rapidly becoming residualised (Marginson, 1993, Thomson, 2002) into little more than welfare institutions for students whose parents "either don’t care, or don’t know enough to care" (interview with teacher at EHS, Tranter, 2005). Teese (2000) points out that the expansion and normalisation of senior secondary participation has "tended to amplify the role of cultural selection" (p 8) with the rich needing to prove their academic superiority through a system of "fortified sites where the advantages of education and culture can be … pooled …, and exposed sites where failure will and must accumulate to balance its eradication from the strongholds of selective schooling" (p7). "In a system of relative merit, however, failure cannot be eliminated, merely exported" (ibid, p3). Bourdieu encapsulates this process in his discussion of ‘educational inflation’:

… because a qualification is always worth what its holders are worth, a qualification that becomes more widespread is ipso facto devalued, but it loses still more of its value because it becomes accessible to people ‘without social value’ (1993b, pp97-98)

Alongside the cultural capital so important to my childhood was a very strong commitment to social justice, rooted in the Quakerism of my parents and nurtured by the 1960s and 70s in which I grew up; a strong belief in equality, both before God and as a matter of justice. While cultural capital was valued highly by my family, commitment to the idea of education as a public good was paramount. Hence private schools were never considered but my parents chose (and could afford to choose) to live where we could attend a local high school with a strong academic reputation, again exploiting the family’s cultural capital and habitus: "knowing how to play the game" (Reay and Ball, 1997 and 1998). Almost all members of my family work or have worked in education, mostly as teachers, and with a fervent commitment to the public education system. I had also planned to work as a teacher but involvement in student politics saw me head towards university administration instead. It was there that I first began working in the area of student equity, working within the then Hawke Labor Government’s higher education framework to broaden participation in higher education, and in a post-Dawkins university (Dawkins 1988, DEET, 1990). Thinking reflexively therefore, my choice of research question is very much a product of my own habitus, the combination of a high value placed by my family on education, and higher education in particular, a family commitment to social justice and equal opportunity, and my own employment history.

My Research Questions
With a strong commitment to providing higher education opportunities for people who have experienced educational disadvantage mandated in its Act of Establishment (University of South Australia, 1990), the University of South Australia (UniSA) is a national leader in the range of alternative access programs it has developed. An early and important program was USANET, a scheme which targets secondary students from educationally disadvantaged schools. USANET employs a three-pronged approach of outreach (visits to schools), access (the adjustment of year 12 results by the addition of compensatory bonus points) and support once students are admitted. The scheme has been successful in at least maintaining the comparatively high proportion of students from low socio-economic backgrounds at UniSA during a time of considerable growth in higher education participation (Ramsay, Tranter, Charlton and Sumner, 1998, Tranter, 2005). While the number of students admitted through USANET has increased spectacularly over the years (from 120 in 1996 to 1100 in 2005) the gap between the high SES and low SES students enrolled at the University has only marginally shifted, with those from the highest SES quartile still at least twice as likely to attend university as those from the lowest quartile.

In the late 1990s I worked on an early evaluation of USANET which recommended that "further research should be undertaken to assess the longer term impact of such programs on student attitudes towards higher education within the targeted schools…" (Ramsay, Tranter, Charlton and Sumner, 1998, p 120). It was this recommendation, along with my ongoing concern about the still very low participation rates of students from the most disadvantaged schools, which persuaded me to commence research degree studies and my original topic; "The Impact of the University of South Australia's USANET Scheme on the Student Populations of its Targeted Schools."

Using a case study approach (Stake, 1994, Yin, 1991), I have been undertaking an in-depth study of the culture of three of the more socio-economically disadvantaged metropolitan schools targeted by USANET, and the aspirations and attitudes towards higher education of groups of students from these schools. My data is drawn from extensive observations at the schools and a series of semi-structured interviews with staff and students (students in year 12 and in year 10). I have also conducted interviews with a small number of students who enrolled at the University of South Australia from the case study schools, asking students to reflect back on their experiences at school and their transition to university.

Collection of data and exploration of habitus
Very early in my data collection, it became clear to me that special entry schemes like USANET were hardly touching the surface in influencing the attitudes and aspirations of secondary students in the more disadvantaged schools. Such schemes appeared to give hope to those students who were already interested in university, and to increase their expectations of success, but for the vast majority of the students I interviewed, university was an alien and inaccessible concept.

I don't know about other schools, but, the first time that I heard anything about Uni, when I was in year twelve, like, we hadn't had, like, information … in year twelve we went for like an excursion, like to, not this Uni, but to like Adelaide Uni, and that's the first time I had ever, ever, been to a Uni before in my life, I didn't ever know they were here. Students only become aware of the schemes as part of the application process, near the end of year 12, and had very vague ideas about how they worked.

…we were classed an underprivileged school. I think everybody knew that. But I don’t think we realised that we could get extra points for it though.

Because I think that the USANET schemes for them, if they are determined to go, it’s probably only helping them to get in. But if they don’t want to go I don’t think that the scheme is going to make a difference to how they think.

The year 10 students I interviewed were particularly unclear about the concept of university and none of them was aware of the special entry schemes offered by all three of the local universities. Attending university does not appear to be part of the culture of the schools and their student populations, and I became increasingly aware that the universities’ (and my) presumption that an occasional interaction and the addition of a few bonus points could somehow compensate for possibly generations of educational disadvantage was far too simplistic. As my data collection progressed I realised that the focus of my thesis would need to change. Clearly the University’s intention, that the outreach component of USANET would gradually influence the culture of the targeted schools, developing familiarity with and interest in university, was not working. I became increasingly interested in the question of how the schools themselves, the teachers expectations, the relationships between management, teachers and students, the subjects offered, the counselling provided, and so forth, influenced students’ aspirations, both positively and negatively. The title of my thesis therefore changed to its current title: Why University? School culture and higher education aspirations in disadvantaged secondary schools.

The schools I am studying are all located in communities where very few people have attended university, where the culture of the community is not shaped by this experience. As discussed by Thomson in her study of teaching in disadvantaged schools in South Australia (2002), within the overarching category of "disadvantaged schools", with many factors common to all three, each school has its own individual identity or "thisness", what Reay, David and Ball call "institutional habitus" (2001, 2005). Like class habitus, institutional habitus is acquired over years from a school’s particular history, location, neighbourhood resources and issues, student mix and staffing. It involves "a complex amalgam of agency and structure and could be understood as the impact of a cultural group or social class on an individual’s behaviour as it is mediated through an organisation" (Reay, David and Ball, 2001, p 16). In a similar vein, Smith (2003) discusses the ethos1 of schools, connecting ethos with the notion of habitus and communities of practice. He states that a school’s ethos is constructed through an interaction between the culture mix of teachers, pupils, parents, and the local community … and is mediated through organisational structures and processes, and also by staff culture, climate and competence. It … includes the qualities of the learning environment, … and the habituses brought to the school by pupils and staff and those that emanate from … the external environment. pp 466-467).

I have described the schools I studied elsewhere (Tranter, 2005). In very brief summary, at all three schools there is a disproportionately high level of complex and aggregate disadvantage within the school population, with high levels of poverty, inter-generational unemployment and individual and family transience. In each case the individual history of the school, the cultural and socio-economic mix of the students, the range of subjects offered, the leadership of the school and the expectations, morale and continuity of the teaching force conspire with the students’ community and family habitus to mediate against students gaining entry to university. As Thrupp explains:

Schools develop processes that reflect their SES mix. … Working class students who attend a working class school may often fail not only because of their own background but also because they are attending working class schools which cannot offer middle class type of resources and processes. Conversely working class students who attend a middle class school are more likely to succeed because they are exposed, despite their individual class backgrounds, to the contextual benefits of a middle class school mix (1999, pp125-126).

This point is illustrated by one of the students I interviewed who had attended a more middle class school before moving to one of the case studies:

"[middle class] schools are stricter … so you actually push yourself, and you get better marks and then you think, well f…, I’ll go to uni."

Why not University?
During the interviews I conducted with the students I talked to them about a local newspaper article headlined "Our Great Uni Divide" (Williams, 2000), highlighting the differentiation in university participation between the northern and eastern suburbs of Adelaide, and I asked the students why they thought this might be so. As the interviews progressed I felt increasingly uncomfortable asking this question, becoming aware that I was imposing my own privileged value system on the students – placing them and their peers in a deficit position. Nonetheless, they showed little discomfort, their reflections revealing quite remarkable insights and a profound understanding of the inequality, which so limits their life choices. They acknowledged Sociology in Question Bourdieu notes, "the notion of habitus encompasses the notion of ethos, and that’s why I use the latter word less and less. … I have come to use almost exclusively the concept of habitus" (1993b, p 86). that university is not part of the lived experience of their parents, their communities, themselves. Not part of their taken-for-granted way of being in the world.

Not many of our parents went to uni. If you think about this, and so, that’s why we’re in the northern suburbs … and I think that’s, we kinda, look at our parents and go, well, they’re not doing too bad, I don’t need to go to Uni, it’s a waste of money, waste of time. I can just go and get a job like my parents and, bum around for a while, and I reckon that’s what it is…. It’s kind of just the whole influence. We don’t have real educational influences, you know.

The students recognise that the expectations of their parents and communities are different from those placed upon students from higher socio-economic backgrounds and that their life choices are different too: They have parents that are in a high socio-economic background, you know, with more money and for them the parents push them more than the average income person. They have higher expectations…"

It’s because the people in, like other areas, their parents are business-class people. They’re like, into uni, and so they would want their child to go to uni as well. So, there would be a lot of pressure to them to succeed and, over here there’s more working class families where parents didn’t actually get to do that type of work and yeah, if a student here like does not achieve well in school, it’s not really um, demeaning to them, you know, they’re not going to be ashamed or… but in another, another area where it’s rich and stuff, yeah, failing high school would be really, you know, bad".

The concept of shame in this last quotation forms part of one’s habitus too and was raised by a young man from a South-East Asian background who was under considerable pressure from home to succeed. For this student, there was no choice:

I have to pass high school and go to uni. … yeah I’ve always been brought up um with the knowledge that I had to pass high school so … so not passing high school wasn’t an option for me, so I’m here.

This young man did eventually get to university, but had to repeat his year 12 in order to do so. He was one of a significant minority of immigrant students at the first school I visited, many of whom felt considerable pressure from home to complete their year 12 and gain entry to university. The school’s culture of academic non-achievement is mediated by the aspirations of the immigrant families, although not enough to ensure that any but a small number manage to gain a place at university each year.

The comments above, and many others like them, demonstrate that the students themselves clearly recognise their class positioning and the unequal distribution of opportunities life had dealt them. While I, and others like me, had grown up with the blinkered vision of the dominant middle class, seeing my life experience as the norm, and largely protected from the realties of poverty and exclusion, these students knew that they were "underprivileged". They were very aware of the stigma of living in the northern suburbs of Adelaide, in suburbs which constantly receive negative media coverage, and of attending schools they variously referred to as "ghetto schools", retard schools" and "schools for drop outs" (Tranter, 2005): "Because a lot of people think northern suburbs school, they’re not going to go to university they’re just going to be on the dole or leave school at year 10, or whatever…these sort of stereotypes affect the people that live there, they start to believe that that is the way that they are and that’s all they can achieve.

The students are already conscious of their positioning in society, the limits placed on them by that positioning and in this consciousness they have begun to question and reflect, thereby enabling the possibility of transformation. I became aware too that the interview process itself was likely to reinforce this tendency for the students to reflect on their positioning and possibilities for their future. For some of the year 10 students in particular, I was the first person to talk to them about the possibility of university.

Suzie: In year ten all we've had is going to TAFE and doing TAFE accredited courses, they haven’t said anything about moving onto Uni.

Matt: Yeah, and no people come out here from the Uni, apart from you.

Suzie: You're like the first person in our high school from University that we've had.

Int: Right, so your teachers don't talk to you about it as an option either?

Suzie: No.

Despite my discomfort about asking students to reflect on their relative disadvantage therefore, I could also gain comfort from recognizing that my research questions may have helped some students consider the possibility of higher education for the first time.

Teachers
In most cases teachers are amongst the only people the students meet who have any experience of higher education, hence the role of teachers in encouraging, or discouraging, students is crucial (Tranter, 2005). But these are ‘hard to staff’ schools, often avoided by teachers and relying on a much higher proportion of recent graduates and contract staff than is usual The schools, and the students, have to manage with a constant "churn" of reluctant transferees and short term staff (Thomson, 2002), many of whom are ill equipped to cope with the complexities of the schools. The high level of staff turnover was highly disruptive; the year12 Chemistry class at one school had five teachers the year I visited, and the last one did not return at the beginning of term four. The students know that teaching is not easy at these schools. In fact some of the teachers are quite open in comparing the students negatively with other schools.

They say look, I taught at these schools, - and they’ll tell us what, like what’s wrong with us and our attitude and everything, and some of us it gets through and some of them it doesn’t. And a lot of them, if another contract comes up, they take it, because - they feel like, they’re-. Like the teachers must feel they’re not achieving anything either!

They value highly teachers with whom they are able to develop a positive relationship. Unfortunately relationships aren’t able to develop when teachers are constantly moving. You can’t do that with teachers here, we’ve had teachers that leave all the time so, that’s why at this school there isn’t that much um, communication between teachers and students, because the ones that we did years 8, 9, 10, 11 with, they’ve gone!…So, it’s hard to build up any kind of a relationship …

At all three schools the students recognise that the teachers are prepared to put in the work if the students are. If the students are not prepared to work, however, neither, it seems, are the teachers, at least according to the students: If you’re prepared to work hard the teachers are prepared to work with you, if you know what I mean? If you work, like, if you make the effort to put all you’ve got, then they make all the effort to help you, but… Oh, they’re very determined to keep some of us here. But they don’t make any effort for those who are… pains.

The teachers will work with the students who have engaged with the dominant forms of cultural capital so integral to schooling but many of them reject or ignore those students who either can’t or won’t engage. The teachers themselves talk about the huge challenges teaching in schools like these:

There is no greater uphill battle in my teaching experience than what is right here. … This is a real work out. This is high order teaching skills every single day to get kids involved and interested and learning something.

How are you supposed to succeed - when you get a bunch of kids who have - the most variant, like the h-u-g-e-s-t!! amount of differences between the top of the class, who are just normal average student, can read/write whatever, and the bottom of the class who can barely string a sentence together. … And you’re supposed to - be able to teach - all of them, the same level….

As a teacher you need to have the resilience to actually, not get put off by the fact that kids aren’t learning. The teacher has to keep going. So there's got to be something that actually keeps you going, so that, even if only ten are doing it, I'm still doing it for these ten, and I hope, I'm going to attract more kids into it.

Teachers are often struggling, sometimes reluctantly, working within an institutional habitus that is discordant with how they see their role as teachers. The impact on standards and expectations is often then quite detrimental:

...and so staff develop their own ways of dealing with it. … and some of those methods of dealing with, it are not very conducive, to making the situation better. They actually continue to contribute to, a culture, of non-achievement. And I say that because I could just about quote the year 8s I spoke to … who in fact, basically say that. They're picking up from the classroom that, not every teacher, but they pick up that there's this view that you really don't have to do it. And nobody’s really going to make you much, and that you, if you wanna do it, you really have to develop that inner urge to do it….

… I actually see it as people’s emotional way of coping, is to drop their expectations, because, if they maintain their expectations, they probably … can't emotionally survive.

Standards and Expectations
A number of the students talked about the shock they felt when they arrived at year 12 and first met a state benchmarked curriculum: …year 8, 9 and 10, they just kind of let you do what you want. You bludge around a bit, and when you hit year 11, it gets a bit harder, but I don’t think they really prepared us for year 12, because I went through my other high school years thinking, yep, this is going to be easy. I’m going to do this fine and then through year 12 I mean, I went whoa, this is really hard….I did very good in my junior years, and then I’m absolutely doing really bad in year 12 because I just didn’t, I wasn’t prepared for it. I wasn’t prepared to do the work because, I hadn’t had to do it before.

… that’s why I found it so hard in year 12, because, the fact that we are lower and then when they put us in year 12 we have to do the work that the rest of the state is doing, and maybe that’s why it was so hard to adjust to it.

At all three schools both the year 12 and year 10 students commented that years 8, 9 and even 10 were virtually a waste of time; that students can get away with doing no work and still pass. Many students were well aware that they were working at a different, lower standard than students they knew elsewhere and realised that this was not serving them well.

… like I was telling one boy about my Maths work, and he’s in Year 9, and he’s like, ‘we’ve already passed that’….He’s like - ‘didn’t you do that in Year 9?’ and I’m like ‘No’. (Laughs) And he’s like ‘Wow! So we’re like doing your Year 10 work?’, and I was like ‘Oh - yeah’. But - so I think we’re a bit behind. In particular, several of the year 10s actually complained that they had less homework in years 8 and 9 than they’d had at primary school! They recognized that they were not being sufficiently prepared for the senior years of school. In a way it's going to hit us heaps bad when we get into year eleven and twelve because we don't really have homework in year eight, we don't have any in year nine we have like a tiny bit, maybe once a fortnight, and then year ten we hardly have any homework as well.

From the teachers’ point of view, however, the students arrive at the school ill-equipped for the academic curriculum, lacking the cultural capital to help them achieve in the field of education:

I teach a lot of very intelligent kids but I think the bottom line is they have grown up in a particular culture which works against academic success … No I don’t think it’s about intelligence, unless intelligence is a kind of behaviour or a set of behaviours, which it may be actually. But in terms of ability to grasp concepts I think that there are just as many of them who can do it but they are very disadvantaged by lots of things.

I think that, you develop your concepts through the reading that you do, and the talking that you do, and the things that you hear and understand and take in. And, if your language development isn’t flash, this means, that not only can you miss the surface meaning of things, but of course you miss the sub-text, as well, which is where you get a lot of your more subtle sort of concepts and things like that. And these kids’ language development, can be appalling! And, so, I have this sort of theory, that their … just their conceptual development’s behind, where kids of similar age and stage (are), and therefore, and that's where I think a lot of their sophistication lacks, and, their ability to, communicate as effectively. … And when you read some of their unadulterated text, you actually, I mean, I have had year twelve stuff … where you actually have to sit and read it out loud, to get the sort of phonetic sound of what it is you're reading.

This second teacher talked about how the students actually speak a different language, or dialect, and that they haven’t learnt to write in a range of different styles, so when they do write they use their local form of English, rather than the middle class ‘Standard Australian English’ of the school system and the dominant culture. Barnett and Walsh note, (1999, p125) "the recognition of class-based dialects are vital in understanding educational disadvantage". Middle class children arrive at school with the Standard Australian English of the schools already part of their habitus, or their ‘virtual schoolbag’ (Thomson 2002). They don’t need to struggle with the discontinuity between the language of the home and that of the school experienced by working class students (Barnett and Walsh, 1999). They have the cultural capital to survive and thrive at school.

Conclusion
In the discussion above I have attempted to show how Bourdieu’s theories are a useful way to analyse what it is about the schools I am studying that means their students are so much less likely than students at middle class schools to complete year 12 and move on to university. For marginalized groups, the way they see and experience the world, their habitus, is not valued highly in the school system and is discordant with the habitus of the field of education. For many working class students this discordance leads to disengagement and failure at school, with very low rates of year 12 completion and access to further education.

Through my research I have become increasingly aware of how the education system, both school and university, is instrumental in the reproduction of social inequalities. I have had to challenge my perception of education as a force for social justice and recognize that in fact schooling has tended to perpetuate the privileges of the dominant classes, normalizing the cultural capital and habitus of the middle classes while pathologizing and excluding those who don’t have ready access to the cultural capital of the elite (Reay, 2006). Bourdieu’s emphasis on reflexivity has helped me to recognise my own privileged position within the field of education and has challenged me to question my taken-for-granted values. While still convinced of the importance of more equitable access to the benefits of university education, I am more ready to recognize the validity of other options and the need for these to be recognized as different but desirable aspirations (Watts and Bridges, 2006). I have also become much more critical of universities themselves as instruments of the privileged, working to sort, select and exclude those students who do not have the academic and cultural capital or habitus to "fit."

My reading of Bourdieu has allowed me to see the social world and myself with new eyes and helped me make sense of the injustices that have troubled me for so long. As Bourdieu explains, it is "by expressing the social determinants of different forms of practice … (that) gives us the chance of acquiring certain freedom from those determinants (Bourdieu 1990 p 15). Like one of Charlesworth’s informants from his Phenomenology of Working Class Experience (2000), I have found that Bourdieu has explained issues I had always felt, but not previously understood:

"Is it ‘ard this Bourdieu to read, like? ‘Cos them bits ye’v read to mi, the’r fuckin’ spot on. Ye’ know it’s stuff A’ve allous (always) felt but A’ve never bin able to explain. Ye know, like when Ah wo at school an’ college, an’ it all meks perfect sense ahr (how) he explains it but Ah wun’t never Ah (have) thought o’r it like that."(*)